Monday 29 October 2012

Untuk Siapa, Saya pun Tak Tahu

'Sering sekali mendengar kalimat, "Bahagia itu Sederhana". Tapi, yang saya alami saat ini adalah, "Menjadi GILA juga lebih SEDERHANA". 
Saat menitipkan harapan yang terlalu tinggi pada seseorang, dan pada realitanya, apa yang kita dapat bahkan tidak ada seperempatnya. Gila. Ya, kegilaan macam itulah yang akan kita hadapi. Mungkin bukan "kita". Mungkin hanya "saya". 
"Kamu kenapa?". Banyak sekali pertanyaan seperti ini menghampiri saya. Saat saya memutuskan untuk mencari jasa seorang psikiater yang bisa menangani kegilaan saya.
Saya pun tak kuasa menjawab, apalagi menjelaskan apa yang sedang bercokol di otak kanan, kiri maupun tengah saya. Karena saya sendiri pun, murni tidak mengerti. 
Sedikit membaca artikel tentang, "kapan kita harus mengunjungi psikiater?". Dan isi artikel pun menjelaskan, ada beberapa hal yang mengharuskan kita untuk segera berkunjung ke psikiater. Salah satunya adalah, saat gangguan jiwa yang dialami mulai mengganggu kegiatan fisik, seperti bekerja, belajar, bersosialisasi dan lain sebagainya.
Hmmm, dari satu aspek itu saja, sudah mematahkan kewajiban saya untuk mengunjungi psikiater.
Lalu, kamu kenapa sih Pus?
Baiklah.
Ini hanya hipotesa saya saja. Hipotesa yang mendadak mencuat dari benak saya, setelah beberapa tetes air mata berhasil membasahi separuh sarung bantal. Dan, arrrgh. Menjijikkan.
Hmmm. Jadi begini..
Saya memberanikan diri menyebut diri saya adalah calon pengantin. Awalnya, saya sangat yakin 101% bahwa saya akan menjadi istri yang paling bahagia. Saya akan mempunyai anak-anak kecil yang lucu dan sehat. Saya akan menjadi istri yang sangat disayangi suami dan anak-anak saya nanti. 
Tapi... Entah sejak kapan, entah kenapa dan bagaimana asalnya, saya jadi sangat, sangat sering menangis, meratap, sedih, akan hal-hal yang sepele, yang sebelumnya tidak saya alami bersama pasangan. 
Entah ini karena 'penyamaran' masing-masing dari kami yang sudah mulai terkuak. Entah cobaan pra nikah. Entah kebosanan. Entah rasa lelah menunggu hal yang kami idam-idamkan (menikah) yang tak kunjung datang. Entah perbedaan yang begitu mencekat. Entah perasaan memiliki yang sudah terlalu mendalam. Entah harapan yang terlalu tinggi. Entah keegoisan yang bertahta. Entahlah.
Karena setiap perselisihan yang saya hadapi dengan pasangan adalah hal yang sepele. Kesedihan yang saya alami adalah hal yang, aah, bahkan saya tidak menyangka hal-hal semacam itu bisa membuat saya yang ekstra ceria di mata orang ini jatuh meratap dan sedih.
Dulu, setiap pertemuan, disambut hangat dengan senyum malu-malu. Ditambah belaian lembut di kepala, yang menimbulkan getaran absurd dan tahan lama. 
Sekarang, saya tersenyum girang di setiap pertemuan. Disambut muka datar dan ekspresi sebal karena selalu menunggu. Ekrpresi lelah karena perjalanan jauh. Ekspresi dingin dan tanpa senyuman.
Dulu, selalu ingin berbagi. 
Sekarang, ini punyaku, ini punyamu. 
Dulu, "kamu butuh apa?"
Sekarang, "aku butuh ini". "Liat nanti".
Dulu, "kamu suka ini? Aku beliin ya".
Sekarang, "Iiihhh,lucu". Kemudian ditinggal pergi.
Dulu, seperti tiada wanita sehebat diriku.
Sekarang, "Yang itu cantik, yang itu imut, yang itu cute, yang itu seksi"
Apa ini karena waktu?
Atau saya yang terlena dengan kebahagiaan semu?
Saya lah sumber masalahnya. Saya yang selalu mempersulit hal-hal yang mudah. Saya sangat bisa dengan gamblang mengakui bahwa ini sepenuhnya salah saya. Tapi jauh dalam hati saya, saya belum bisa terima dengan perlakuan seperti ini. Perubahan yang begitu mendasar. Yang (mungkin), tidak dirasakan oleh yang bersangkutan. Dan saya, selalu mencari-cari kesalahan diri saya, setiap ada permasalahan yang menghadang. Seperti dia yang pasti benar, dan saya yang pasti salah. Meskipun secara langsung, dia tidak pernah menyalahkan saya.

Q: Kenapa tidak menegur?
A: Saya sendiri belum bisa menjadi seseorang yang bisa membahagiakannya, bagaimana mungkin saya punya hati untuk menegur apalagi memintanya untuk menjadi apa yang saya mau.

Q: Meskipun dia meminta?
A: Ya. Saya merasa belum pantas.

Q: Harapan apa yang dititipkan sebenarnya padanya?
A: Kebahagiaan. Harapan bahwa saya akan selalu bahagia di sampingnya. Dan saat dirinya ada, saya merasa utuh dan sempurna.

Q: Kenyataannya?
A: Seperti ini. Saat realita tidak sebanding dengan harapan, kegilaan lah yang akan dialami. Murni kekecewaan yang menghantui.

Q: Sebenarnya apa sih yang dirasakan?
A: Saya yang serba kurang. Saya yang tidak pernah menjadi seseorang yang pantas untuk sekedar dibelai kepalanya atau mendapat kalimat "Aku sayang kamu banget". Bahkan saya sudah tidak pernah merasakan tatapan kagum darinya. Seperti dulu, dia selalu mencuri-curi waktu untuk sekedar menatap dan mengungkapkan kekagumannya pada saya.

Q: Kenapa sih selalu underestimate?
A: Entahlah. Saya selalu merasa pribadi saya buruk.

Q: Koq bisa gitu? Bukannya selalu mendapat predikat "baik" dari orang lain, walaupun sering teraniaya batin?
A: Tapi orang yang saya harapkan untuk menerima saya sebagai yang terbaik baginya, tak kunjung memberi pengakuan. Bahkan saya tidak pernah tahu, hal apa dari diri saya yang membuat dia betah dan menjadi nilai positif dari diri saya. Dia tidak pernah mengungkapkan sedikit saja nilai positif yang saya punya. Selalu koreksi dan nasehat yang ditujukan kepada saya. Saya sudah tidak punya jati diri di hadapannya. Habis, hilang, seiring dengan setiap koreksi, kritik, komentar maupun nasehat yang selalu ditujukan pada saya.

Untuk anda yang saya sayangi sungguh, dan keinginan untuk membahagiakan hidup anda selalu saya ungkapkan dan lakukan selalu. Saya berharap, suasana bisa seperti dulu lagi. Saat semuanya berawal dari sebuah rencana Tuhan yang tidak pernah kita sangka. 
Saat semuanya kita syukuri, dan tidak saling meneliti kelemahan maupun kecacatan masing-masing personal.
Karena saya adalah Resti Dian Ramadhani,
Dan anda adalah calon suami terbaik yang pernah saya harapkan.

Tuesday 25 September 2012

Ibu, anakmu hilang

"Bu, kalo Ibu ditanya orang tentang apa yang Ibu cari di dunia ini, Ibu mau jawab apa? Koq Resti ga tau ya? Resti ga bisa jawab. Ga ada yang tanya sih, Bu. Tapi Resti pengen tau itu apa."

Kalo saja sms yang saya ketik barusan jadi saya kirim ke Ibu saya, pasti Ibu saya langsung khawatir dan mengira saya sedang dalam masalah yang rumit. Jadi, saya mengurungkan niat. 
Saya seperti orang linglung. Hampir setiap waktu dalam hidup saya, saya gunakan dengan merenung, day dreaming, melamun, tanpa menemukan jalan keluar atau sekedar jawaban tentang apa yang terjadi dengan diri saya. 

Apa saya sudah mulai gila?
Mungkin. 
Saya sudah mulai gila dengan kegilaan saya.
Saya bahkan tidak paham terhadap diri saya sendiri. Bagaimana saya bisa mengurus suami dan anak-anak saya nanti? Bagaimana saya bisa memahami mereka?


Bagaimana saya bisa memahami orang-orang di sekitar saya?


Apa itu semua bisikan setan?
Atau sebuah teguran?
Entahlah.
Beberapa saat terakhir aku mulai sering meracau.
Berbicara sendiri. 
Marah pada diri sendiri.
Kehilangan diriku sendiri. 

Ibu, anakmu hilang.
Resti kecilmu hilang.

Thursday 6 September 2012

Writing Something Useless

Malam ini malam Jumat. Tidak, saya tidak sedang membicarakan hal mistis ataupun sunah Rosul. Malam Jumat kali ini, untuk kesekian kalinya, saya sedang dilanda kesepian dan kegundahan yang tidak berkesudahan.
Sekali lagi saya merasa sepi. Ada sesuatu dalam diri saya yang tidak bisa saya pungkiri, sangat mengganggu dan menyita pikiran. 
Disaat Anda sedang dalam posisi yang tidak menentu, dalam keadaan yang tidak bisa Anda ketahui sebabnya, apa yang akan Anda lakukan?
a. Pasrah
b. Mencari jalan keluar
c. Terus memikirkannya tanpa berbuat apa-apa
Jalan terbaiknya adalah option a dan b. Tapi saya sedang melakukan option c. Thinking so many things and doing nothing. So useless, strong-less, meaningless.
Menulis pun tidak tahu kemana arahnya, sudah merupakan bukti yang valid kalo hati dan pikiran sedang tidak fokus dan tersita entah kemana. 
Ya. Saya mencari diri saya yang masih menghilang entah kemana. Menghilang untuk yang kesekian kalinya. Menghilang demi sesuatu yang tidak ada ujungnya.


Warm Regards,
RestiPucii

Monday 27 August 2012

Me and My Brother


Woaaaaaa....!!! The nicest picture of mine. Wuuuups, I mean, the nicest picture of me and my brother. :)
I found it accidentally, when I felt so bored this afternoon, and I opened this, clicked that, wrote this, draw that, and anything. Then I found this!
Well, this cute picture was taken at Malang, East Java, my lovely hometown, the place where I found my first love (ups), the town where I graduated my college and become young bachelor, the town where I found my everlasting love. Those man, yes, the only man whose hand was holding my hand and his another hand was on my shoulder, was my brother. We were in, emmm, I am not pretty sure, but I try to remember that we were at my auntie's house at Sawojajar. What age? I am not really know, I was at what age at that time. When I showed this picture to my mom, she said that I already cried for something she did forget about. Then, you can see, my eyes, were swollen. Okay, lets stop telling the eyes of mine. I realize, they were so, so, so, swollen, round, big, and whatever.


Rossi Ernawan. Yes, he is my brother. The most handsome, kind, patient, and calm brother. I love him. I live with him, since I was a baby (of course, you both were sibling).
We have the same kindergarten, the same elementary school, until junior high school. So that, we were so close each other. But, you will not believe, that we're never agreed and almost quarell(ed) the whole time we were together. I dont know why, every little things could cause our fray. Hahaha, at least it was over when we were live and we struggle together in Jakarta. I feel so need him, he felt it too. Almost 2 years live together at my aunt's home in Jakarta, made us closer each other, giving support was the only thing we need at that time. Until at the day, when he decided to go back to our hometown, Malang. I was so sad, but I know and I should be more understand, it will be the best way for him. Until now, I always feel alone, when remember him and every time we have spend together at this town, Jakarta. And, this picture below, was the last day we stand together, before finally he stayed in East Java right now.
I accompanied him to go to Gambir station. I was so sad at that time, but I tried not to showed it to him. I start to be stronger, since he left. Well, until now, I can't be really strong and always feel lonely. But I am not stop to try, brad. You know, I can through this by my way.


Now, he already has his own life. He was a husband now. He has his new responsibility, to his wife, and his children later. Hope you always has the best for your life. Don't you forget, that my love for you will not be vanished by the time, situation or another bad thing around us, though I never say that, but you should know, that I REALLY LOVE YOU. Take care of your self and your wife. 

Warm regards,
Your little sister

RestiPucii

Thursday 23 August 2012

Does anyone care?

Is anyone care? 
When this loneliness is killing me continuously. 
Is anyone care?
When I feel empty and nothing can fill this emptiness.
When I am totally missing my family, my mom, my dad and absolutely the fragrance of my home's. 
I am really lonely. It's not just a kind of the mourning of mine, a little girl with her strange new life. That was what I felt, and I don't have an exit. 
My heart, my life, my soul, are extremely empty. 
Where should I step my legs, what should I do, whose name I should call, whenever I feel this.
Is anyone care?
Feel like I face this whole strange and absurd world alone. No one beside me just to make me feel like I am not alone. No one in front of me, just to show me, which way I should choose. No one behind me, just to keep me, keep my step in order to make it still in the right way. I am totally lost. Lost in this fake world. 
The sun has raised and setted thousand times, and I still feel nothing. I am just going nowhere. Still being useless and 
What is distance? what is time? Why are you both, so disturbing?
Should I pretend to be strong, but deep inside my soul's totally weak. 
I need a help. I don't really know, who can help me. Find me a way out. Show me the key, then I will open this door. 
I lost, I locked.
I am no one. 
I am nothing.
I am, what???

Wednesday 22 August 2012

Titip Rindu untuk Sahabat

Well, kepulangan saya dalam rangka lebaran kemarin membawa sedikit oleh-oleh cerita. Cerita tentang seorang sahabat yang lucu, dan baik hati semasa kuliah. Sahabat yang tidak banyak bicara, tetapi sangat bermakna. 
Jadi, kunjungan pertama saya saat tiba di rumah setelah sungkem dengan Bapak, Ibu, adalah kamar. Kamar pribadi saya, dimana saya menghabiskan ribuan hari di dalamnya. Bercengkerama bersama diri sendiri, tumpukan kertas tugas, dan terkadang bercerita tentang masa lalu dengan om dinding yang siap mendengarkan.
Saat iseng memperhatikan isi kamar yang tidak pernah berubah semenjak kepergian saya ke Jakarta, kemudian mata saya menemukan secarik kertas yang menjuntai dibalik bingkai sebuah foto.  Foto saya bersama dua sahabat saya semasa kuliah. Saya tidak ingat benar, kapan saya memperoleh foto ini, dan kenapa foto ini bisa nangkring dengan indahnya di atas meja belajar saya. 

(dari kiri: Dida Angga Permana, Resti Dian Ramadhani, Septilia Nuri Herawati)

Ya. Cukup lama saya memperhatikan foto itu. Mengingat-ingat apa yang terjadi saat itu. 
Dan untaian kertas di baliknya pun, memberikan jawaban pasti. 

Ya. Ini sebuah hadiah ulang tahun dari sahabat saya tercinta. Dida Angga Permana. 
Begini, saya coba tulis ulang kalimatnya:

"Gawe, Damel : Pucy, My sister, Mata Luna Maya, Perut cemblung.
Met ultah yang ke 200, eh salah baru ke 20, tapi wis tuwek, tapi tambah pinter kog, tambah cantiq, TAPI BOONG.
Pesenku:
-Rajin Sholat
-Gak Cengeng
-Tambah Pintar (membohongi Ortu)
-Rajin Makan
-Selalu IKHLAS.
Tekok: : Dida, Angga, TemenMu, SahabatMu, Kethek, AbangMu."

Well, bahasanya cukup roaming kalo tidak diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia yang baik dan benar ya?

Sedikit terjemahan:
Gawe = Damel = Untuk
Tapi wis tuwek =  Tapi udah tua (sial!)
Tekok = dari

Kurang lebih begitu, bahasa manusianya. hehe

Well, yea, Dida Angga Permana, saya deklarasikan sebagai abang saya semasa kuliah. Kami mulai kenal saat mengikuti organisasi Himpunan di perkuliahan. Kesan awal saya tentang bang Dida: cablak, berisik, rese', nyebelin. Sejak awal dipertemukan, saya langsung merasa sreg, dengan manusia satu itu. Bukan apa-apa, tapi kepiawaiannya memimpin, berbicara di depan umum, kemampuannya memecah kebekuan suasana, dan keahliannya membuat suasana porak poranda, membuat saya betah dekat dengan abang satu ini. Walaupun, tidak jarang, saya diisengin, dijadiin bahan, tapi yah, nggak bakal seru, kalo sahabatan ga pake sebel. 
Dia, manusia pertama yang saya akan cari, saya akan hubungi saat masalah apapun melanda hidup saya. Tentunya semasa kuliah, sebelum dan sesudah kuliah, beda situasi. 
Dari kalimat-kalimatnya yang dikirimkan bersamaan dengan kado ultah ke 20 saya itu, tersirat, beberapa harapannya tentang diri saya yang ingin sekali dia lihat dan rasakan. 
1. Rajin Sholat. Bukan karena saya tidak pernah sholat, jadi dia menyisipkan kalimat ini di awal. Tapi, karena dengan sholat, kita akan lebih bisa mengenal Allah, mendekatkan diri denganNya. Tidak jarang juga, saya diajak untuk benar-benar "sholat" olehnya. Teringat pesan bang Dida tentang sholat: "Memang susah, aku pun juga masih dalam tahap belajar, rasakan sholatmu, kalo perlu ga usah berjamaah dulu, karena kalo belum kebiasa benar-benar sholat, kita bakal susah konsentrasi. Rasakan ruku'mu, rasakan sujudmu, rasakan berdirimu. :') 
Dia memberikan banyak pelajaran dan ilmu tentang bagaimana mengisi hati kita yang kosong. 
2. Gak Cengeng. Haha. Ini paling susah. Lagi-lagi bukan berarti saya selalu menangis di depannya. Hampir nggak pernah rasanya, saya menangis di depan bang Dida. Tapi dia selalu tahu, kalau saya terlalu sering menangis dalam hati karena salah memaknai segala cobaan dalam hidup ini. Padahal, kalo dibandingkan dengan cobaan yang dia hadapi, cobaan yang dibebankan pada saya, bukanlah apa-apa. Bagai kapas yang diadu timbang dengan mesin printer. Kenapa mesin printer? Karena saya kehabisan kata benda, dan yang ada di depan mata saya saat ini adalah mesin printer. :p . Untuk harapan yang satu ini masih susah. Jujur.
3. tambah pintar (membohongi ortu). Untuk yang satu ini, sebenarnya dia tau, bahwa saya pintar, tapi tidak ingin mengakuinya saja. ahhahaha.. (peace, mas bro). dan kenapa gituh, ditambahi membohongi ortu... bzzzz
4. Rajin makan. hahaha. Ya, saya doyan makan semasa kuliah. Itulah mengapa jadinya saya dipanggil perut cemblung, gembul, dan sebagainya.
5. Selalu IKHLAS. Kenapa Ikhlas nya pake CAPSLOCK? Ya, hampir setiap curhatan berujung dengan kata ikhlas. Bang Dida, menunjukkan pada saya, bagaimana ikhlas itu. Dan saya tahu, bagaimana ikhlas, tapi saya belum bisa mengamalkannya sehebat bang Dida. Sampai saat ini, saya masih meraba-raba, bang, bagaimana menjadi ikhlas. Doakan adikmu ini sukses mencapai tahap ikhlas sesungguhnya. :) Dan terima kasih, atas pinjaman buku Quantum Ikhlasnya. Sungguh bermanfaat.

Aaaahhh, saya sangat merindukan masa-masa itu. Masa-masa saat saya masih punya 'tempat', masih punya orang-orang yang selalu menguatkan dan membuat saya tidak pernah merasa sendiri dan kesepian. 
Sekarang saya harus membangun kekuatan saya sendiri, mendirikan "bangunan" saya sendiri. Sungguh, saya merindukan kalian semua. 
Semoga setiap langkah bang Dida dan teman-teman selalu mendapat ridho dan karunia Allah SWT. Amin.

Jaga Sahabat-sahabat tercintaku, Ya Allah..
:)


Warm Regards,
RestiPucii

Wednesday 25 July 2012

The Day When I Finally Visit Hospital for Myself Part. II

Well, oke, saya akan lanjutkan bagian ini. Bagian dimana menjadi yang pertama selama 23 tahun hidup saya. Jadi saya pertama kali ini penyakitan dan diharuskan untuk opname. Berobat ke rumah sakit aja, ini yang pertama. Selama ini, hanya sakit ringan dan cukup dengan berobat ke bidan dekat rumah. Yang jelas, bukan karena saya pengen gaya-gaya an, sodara-sodara. Karena menginap di rumah sakit pemerintah hanya membuat saya sakit hati dan sakit tulang. 


Jadi, malam itu, awal bulan Juli, bukannya ujug-ujug saya tersungkur di UGD sebuah rumah sakit milik pemerintah. Singkat cerita, saya sakit perut parah, jadi teman sekamar saya langsung melarikan saya ke UGD. 
Dari sejak turun dari taksi, saya sudah tidak kuat jalan, dibawakannya lah oleh seorang Bapak paruh baya, entah siapa itu, membawakan troli, bukan troli juga sih, pokoknya tempat tidur yang ada rodanya itu loh, dibantu Mbak Sri (teman kos.red), Bapak paruh baya itu mengangkat saya (agak kesusahan kayaknya, padahal saya langsing loh, sumpah), sampai akhirnya terbaring di tempat tidur super keras itu dan di doronglah itu troli yang saya tiduri ke UGD.
Sampai UGD, tetap dengan posisi tidur meringkuk, megangin perut, merintih, meringis, dan   ga berhenti istighfar. Sumpah, saya istighfar ga berhenti waktu itu, beneran takut kalo saya mati saat itu juga. Baru itu, saya ngerasa takut mati. Beneran takut. Ga bohong. 
Baiklah, untuk part takut mati, bisa dibahas dilain cerita.
Lanjut ke rumah sakit pemerintah, jadi dengan kondisi yang sedemikian parah (menurut saya), para dokter dan perawat bahkan tidak ada yang heboh. Padahal di bayangan saya, atau paling tidak seperti yang saya pernah lihat di tipi-tipi, kalo uda masuk UGD kesannya heboh, ada yang nangis, trus ada dokter yang pake masker di muka trus di ujung cerita geleng-geleng. Ampun, naudzubillah. Jangan sampe ngalamin begituan. 
Jadi, saya ga sempet merhatiin bener-bener keadaan sekitar lah ya, uda konsen ama perut. Lha koq, ada yang ketawa, ada yang ngobrol, ada yang teriak-teriak ga jelas. Lha terus?
Hello, ini UGD, dan ada pasien baru masuk. Lumayan lama tuh, saya dianggurin ga jelas. Sampe akhirnya aku denger, suara "mungkin dokter" cowok yang menginterogasi Mbak Sri, tentang apa yang saya alami. Mbak Sri pun menjelaskan sekenanya. Si "mungkin dokter" ini tidak kunjung menghampiri saya. Sesaat kemudian, jreeeeng , lha koq yang nyamperin saya malah "mungkin dokter (2)", tapi mbak-mbak. Tanpa senyum, si "mungkin dokter (2)" nanyain apa yang saya rasakan. Sambil merintih, meremas perut, saya menjelaskan sekenanya. Si "mungkin dokter (2)" dengan tanpa ekspresi memegang-megang perut saya. Alih-alih masang stetoskop ke telinganya, terus menekan perlahan perut sebelah kiri saya. 
Kemudian......
Hilang.
Bukan, bukan hantu. Tapi terus ditinggal pergi gitu aja. 
Datanglah mbak Sri. Dengan setia dan sabar menungguiku sambil menatap tidak tega kepadaku. Lama sekali saya dianggurin, berdua dengan mbak Sri. Mbak Sri dengan mata sayup menahan kantuk dan lelah, masih sabar dan mencoba menghiburku sekenanya. 
Beberapa belas menit kemudian, datanglah mas "mungkin dokter"  dan mbak "mungkin dokter(2)". Masing-masing membawa stetoskopnya. Bergantian memegang-megang perut. 
"mungkin dokter" berkata , koq ga ada suaranya ya? koq ga kedengeran apa-apa?
"mungkin dokter (2)" menekankan stetoskopnya ke perut saya (lagi), "eh iyaa, ga ada suaranya". 
Kemudian...
Hilang.
Bukan, bukan hantu lagi.
Dalam hati saya bertanya-tanya. apa yang seharusnya bunyi dari dalam perut saya? Dan kenyataannya apa yang tidak bunyi? Detak jantung ya ndak mungkin, wong yang dipencet-pencet perut. 
Beberapa belas menit kemudian, si mbak "mungkin dokter (2)" dateng, bawa obat.
Inih, tolong dimasukkan lewat dubur, sekarang juga. 
Alamaaaak..!


bersambung...

Wednesday 11 July 2012

The Day when I Finally Visit Hospital for Myself (Part. 1)

Adalah hari Minggu, tepatnya Minggu dini hari pukul 12.30, aku terbangun, karena isi perut berasa diremas-remas. Tidak tahu, apa sebabnya, hanya dugaan-dugaan yang tidak berdasar. Aku coba ke belakang (bukan, bukan belakang pintu), ke kamar mandi maksudku. Cukup lama aku memposisikan diriku layaknya orang yang buang air ala tradisional (jongkok). Tapi enggak ada yang keluar sedikitpun (okelah aku bohong, karena sesungguhnya ada, walaupun sangat sedikit). Perut ini terus melilit, sampai aku bingung memposisikannya di tempat tidur. Tengkurap, terlentang, miring kanan, miring kiri, nggak ada yang bisa aku lakukan, selain merintih dan menahan.
Akhirnya, setelah bergelut sekian menit dengan rasa sakit, aku mengaku kalah. Aku membangunkan teman sekamarku (Mbak Sri).
"Mbak, perut aku sakit banget. Kenapa ya?"
Mbak Sri dengan sigap tapi setengah sadar, "Hooo, kau kenapa Res?"
"Enggak tahu, yang pasti perutku melilit banget", jawabku sambil setengah merintih menahan sakit. 
Mbak Sri pun terlihat panik, otomatis dia langsung membuatkan ku teh panas, dan memaksaku untuk ke rumah sakit nanti kalau matahari sudah terbit. 
Tapi nampaknya sakit perutku tidak ingin berdamai, dia meremas semakin keras. 
"Aku ga bisa nunggu besok kayaknya mbak, aku butuh ke dokter sekarang", kataku tertatih, (kaya sinetron).
Taksi pun dipesan. Sambil bersiap-siap, aku, tetap dengan badan membungkuk menahan sakit, perlahan rasa mual ikut meramaikan suasana nampaknya. Aku pun memakai baju seadanya, yang disiapkan Mbak Sri untukku. Belum sempat memakai penutup kepala, dan Byuuurrrrrrrrr... Aku jatuh tersungkur, dan banyak sekali air yang keluar dari mulutku. Mbak Sri yang baru dari luar untuk mengecek taksi sudah datang atau belum, langsung kaget, melihatku tersungkur dan lantai sudah tergenang air. Semakin panik, Mbak Sri membangunkan Mbak Atun (Ibu muda penjaga laundry di tempat kosan kami). 
Mbak Sri langsung membangunkan ku, memasangkan jaket untukku, menyiapkan sepatu untuk kupakai, sembari mba Atun membersihkan muntahan airku. Eh, ga cuma air sih, kayaknya aku melihat remahan daging buah kelengkeng yang kumakan sebelum tragedi Remasan Perut dan Rasa Mual yang Ikut Meramaikan. Hmmm...
Sambil buru-buru, aku masuk ke dalam taksi, dan peremas perutku tidak mau sabar. Malah semakin dan semakin. Sontak yang ada di bayanganku adalah saat-saat Sakaratul Maut (Saat roh manusia dicabut dari tubuhnya). Saat-saat paling menyakitkan di sisa hidup seluruh umat manusia. Dimana nadi-nadi terputus, dari ujung jempol kaki, sampai ujung kepala. Sekarang bayangkan saja, kalau satu nadi kita teriris sedikit saja, kita sudah merintih, bagaimana kalo perlahan nadi di tubuh kita terputus, nggak sanggup kayaknya aku bayangin.  Yang pasti, jauh dan jauh lebih sakit daripada si peremas perut ini. 
Ah sudahlah, pikiranku semakin kemana-mana saat itu.
Sampailah di RS "xx" milik pemerintah. Sengaja milih RS itu, karena asuransi kesehatan yang aku punya berlaku paling ampuh disana.
Disanalah aku. Di IGD Rumah Sakit milik Pemerintah. Dimana segalanya menjadi gratis saat kau punya asuransi. Tapi bersiaplah dengan dokter-dokter muda yang tidak tahu apa yang harus dilakukan saat melihat seorang tersungkur menahan sakit. 
Untuk masa-masa aktifku di Rumah Sakit itu, akan diceritakan di bab selanjutnya. 
Kalau disini, ih wow. Pusing aku nulisnya, apalagi yang baca (kalo ada).
:p

Warm Regards,
RestiPucii

Wednesday 20 June 2012

Bahagia Untukmu, Kakak





Bahagia menyelimuti saya dan keluarga saya beberapa hari ini. Bagaimana tidak? Kakak laki-laki kesayangan saya, anak laki-laki satu-satunya Bapak Ibu, akhirnya meminang seseorang yang telah dipilihnya dan berhasil mengucap janji suci yang mampu menggetarkan dunia dan seluruh isinya. 
Berawal dari prosesi akad nikah yang dilaksanakan di kota Jombang, kota asal mempelai wanita. Dengan disaksikan oleh beberapa keluarga besar, penghulu, dan beberapa teman-teman terdekat, pengucapan ijab qobul tersebut terlontar dengan sangat lancar oleh kakak laki-laki yang paling tampan itu. Dibalut busana serba putih, kedua mempelai saling memasangkan cincin, dan mempelai wanita mencium tangan mempelai laki-laki, sebagai tanda bakti istri pada suami. Sayang sekali, saat prosesi akad nikah ini, aku tidak bisa menyaksikan haru birunya, hanya sekedar cerita dan foto-foto yang dibagikan oleh saudara-saudara, Bapak, dan Ibu. Pengen ketawa rasanya, waktu saudara-saudara bercerita, adik bungsuku Ridha, menangis dengan syahdunya, saat melihat kakaknya mengucap ijab qobul. Aku pun, dari sini, ikut merasakan suasana haru dan ikut mengirimkan doa untukmu, mas...
:')
Akad nikah dilaksanakan hari Rabu siang, sedangkan resepsi pernikahannya dilaksanakan hari Minggu malam. Kenapa begitu? Bapak Ibu juga bingung menjelaskannya padaku. 
:)


Kebetulan, eh bukan kebetulan, tapi memang dipersiapkan, untuk acara resepsi pernikahan mas, sengaja aku persiapkan jauh-jauh hari tiket untuk pulang ke Malang. Seakan tidak ingin  melewatkan moment-moment terbesar keluarga ku. 
Resepsi tanggal 17 Juni itu diawali dengan prosesi 'temu' ala adat Jawa. Dipandu oleh MC yang sudah profesional dibidangnya (panggilannya Mr. B), acara demi acara pun berjalan dengan sangat lancar. Tidak ada hambatan yang berarti. Ibu dan Bapak terlihat sangat sumringah, rukun, guyub, dan terpancar kebahagiaan sekaligus haru di wajah mereka berdua. Dari pihak wanita, orang tua (Ibu) mempelai memang sedang tidak sehat. Jadi, tidak mampu berdiri di samping pelaminan untuk menemani anaknya dan menyambut tamu, terlalu lama. 
Keluarga dari pihak Ibu dan Bapak, juga terlihat sangat bahagia. 
Sungguh, kebahagiaan malam itu tidak bisa tergantikan oleh apapun. Kebahagiaan macam itulah yang tidak bisa dibeli. Kebahagiaan macam itu pula lah yang tidak semua orang bisa merasakannya. 
Berharap, saat giliranku tiba nanti, aku juga bisa membahagiakan orang tua dan seluruh keluargaku.






Warm Regards,
RestiPucii

Tuesday 5 June 2012

Hari Selasa dan Sopir Bajaj

Pagi yang cerah di hari Selasa. Salah satu weekday yang aku suka diantara lima weekday lainnya, disamping Jumat tentunya. Hari Selasa, artinya hari olahraga. Jadi, setiap hari olahraga, pemimpin instansi tempat ku bekerja, memberi kebijakan berupa kebebasan bagi anggotanya untuk berolahraga sampai pukul 10.00. Itu artinya (aku) sedikit bebas dari jeratan pekerjaan yang (kadang) menyiksa. 
Selasa kali ini, aku sengaja tidak menghabiskan jam olahraga untuk benar-benar berolahraga atau sekedar jalan santai ke Monas. Pagi ini, sengaja salah satu teman kantor (Egy) mengajaku dan 2 teman lain (Ardha, Mbak Mia) ke suatu tempat untuk fitting baju miliknya di penjahit. 
Awal keberangkatan sudah dibingungkan oleh Egy yang lupa alamat rumah penjahit yang akan didatanginya. Nekatlah kami berempat berangkat. Nekat pula kami berempat berdesak-desakan dalam satu bajaj (BBG). Setelah kurang lebih 25 menit kami beradu pantat, banting kanan, banting kiri, sampailah di rumah penjahit yang dimaksud Egy. 

Rumah mungil, dengan anjing penjaga yang sangat angker (kelihatannya), tapi ternyata anjing jinak penyayang kucing. Nggak sangka juga sih, kirain cuma di film aja, ada anjing yang akur bersahabat dengan kucing. Kata si empunya anjing, anjing inilah yang memungut kucing liar yang notabene sampe sekarang bersahabat dengan si anjing, dan dipelihara oleh pemilik rumah.
Melihat anjing dan kucing yang rukun, saling sayang, sungguh membuat hati ini tentram. Dua makhluk berbeda jenis, yang ditakdirkan untuk saling bermusuhan(pun) bisa menjadi penyelamat, mengapa kita sesama manusia yang diberi hati nurani lebih dalam dan akal pikiran jauh lebih hebat dari mereka berdua bahkan bisa saling membunuh? Aku curiga ini semua memang karena akal. Mungkin, kalau manusia tidak ada yang berakal, dunia bakal lebih tentram. Mungkin.
Baiklah, kembali ke hari Selasa dan sopir bajaj. Hari Selasa belum habis, dan sopir bajaj belum terceritakan. 
Jadi, kepulangan kami disambut gerimis mesra. Gerimis lembut dan wajah awan yang sedikit sayu, menambah ketenangan hari Selasa kali ini. Menyusuri jalan dan mencari bajaj, ditemani hujan dan kesibukan dengan smartphone masing-masing. Akhirnya kami menemukan tempat ngepul nya para sopir bajaj. Setelah berhasil tawar-menawar, akhirnya deal, dan kami pun pulang berempat, beradu pantat (lagi), tapi kali ini lebih parah, karena kami dapat bajaj oranye, bajaj model lama, yang nungging bagian belakangnya lengkap dengan suara yang luar biasa merdu. 
Sepanjang perjalanan pulang, mendadak ada interview singkat yang dilakukan Egy pada tersangka sopir bajaj. Dari interview itu, kami jadi sedikit tahu tentang apa yang para sopir bajaj itu rasakan, setidaknya perasaan sopir bajaj yang satu ini. Sebut saja namanya Pak Ali. Orang Jawa asli, merantau di Jakarta, meninggalkan anak dan istri di rumah. aku lupa, asal Pak Ali dari kota mana. Tinggal di Jakarta di semacam, kami menyebutnya "base-camp". Asalnya warteg yang disulap menjadi tempat singgah para sopir bajaj. Warteg ini menyewakan tempatnya untuk tidur para sopir bajaj semacam Pak Ali ini. Dengan biaya 2000 rupiah per hari, tentunya sudah merupakan surga bagi para sopir bajaj yang orientasi nya kejar setoran ini. Hanya menyisihkan 2000 perak setiap hari, sudah punya tempat berteduh dan sekedar meluruskan pinggang dikala rasa pegal menggelayuti. 
Para sopir bajaj ini, juga dibebani kewajiban untuk makan di pemilik penginapan minimal 2 kali sehari. Jadi, (mungkin) dari sinilah si empunya penginapan plus warung ini mengambil keuntungan. 
Pak Ali, yang awalnya bekerja di sebuah perusahaan swasta (kebanyakan orang menyebutkan "bekerja di PT"), ternyata mempunyai liku hidup yang tidak sederhana. Setidaknya, tidak sesederhana kami berempat yang notabene, lepas dari lingkungan pendidikan, langsung dapat bekerja mapan di sebuah instansi pemerintah. 
Berawal dari pekerja PT, entah Pak Ali yang mengundurkan diri, atau kena PHK massal pada jamannya, karena aku tidak begitu menyimak part yang ini, pada akhirnya Pak Ali banting setir jadi pedagang bakso dan mi ayam. Setelah lumayan lama bergelut di bidang perdagangan, Pak Ali yang semakin terdesak kebutuhan, akhirnya membanting setirnya lagi, dan jadilah sekarang, Pak Ali si sopir bajaj, yang berhasil menghidupi istri dan menyekolahkan 2 orang anaknya di kampung.
"Kenapa milih jadi sopir bajaj, Pak?", salah satu pertanyaan Egy yang paling berbobot diantara semuanya (ampun, Giiiik :p)
Pak Ali pun menjawab dengan skala prioritas.
"Pertama, saya jadi bisa pegang uang setiap hari. Jadi, sewaktu-waktu keluarga saya minta ditransferin uang, pasti ada. Kalo waktu bekerja di PT kan, saya punya uangnya cuma seminggu pertama. 3 minggu berikutnya uda ga pegang duit. Utang sana, utang sini. Susah, Mbak.
Kedua, kerja jadi sopir bajaj ini bebas. Ga terikat. Mau berangkat narik jam berapa, mau pulang jam berapa, ga ada aturannya, Mbak. Pokoknya setoran tiap bulannya cukup, enggak bakal ngoyo. Kalo dipaksain narik, seharian, bisa-bisa besoknya malah enggak ada tenaga buat narik. Kalo pas lagi rame, sebulan saya bisa megang duit 4 jutaan lo, Mbak. "
"Waduh, kalah donk gaji PNS saya, Pak", protes Egy.
hahahaha.
Perbincangan demi perbincangan pun mengalir terus, sampai di tempat tujuan. Dan memaksa kami, untuk mengakhiri interview singkat ini. 
Hmmm, sedikit pelajaran yang bisa aku petik dari perbincangan singkat ini. 
Tentang bagaimana kita mengolah rasa syukur. Bahkan seorang sopir bajaj saja bisa merasakan bahagia koq, walopun masih harus setoran ini itu, biayain ini itu. Kenapa aku yang sudah mempunyai pekerjaan tetap, gaji yang enggak berfluktuasi kayak Pak Ali punya, masih membuatku mengeluh kekurangan? Ini memang gajinya yang kurang atau aku yang enggak bersyukur?
Pak Ali bisa, dengan gaji sopir bajaj nya membiayai istri dan anak-anaknya tanpa keluhan. Dan aku? Dengan gaji PNS yang (mungkin) sedikit lebih tinggi, hanya untuk membiayai hidup sendiri di Jakarta plus kuliah saja, masih sangat sering aku mengeluhkannya. Memilih untuk menyalahkan Tuhan dengan menuntut lebih dan lebih lagi. Melirik orang-orang lain, dan merasa kurang dan kurang terus. 
Terimakasih Tuhan, untuk sedikit teguran halus dariMu hari ini.
Bersyukur aku bisa menjalani hari Selasa ini dengan sangat tenang.
Berharap, Selasa-Selasa lainnya juga bisa menyesuaikan.
Makasih juga buat Egy, yang secara enggak langsung menggiringku untuk membuka mata dan hati lebih lebar lagi, untuk lebih legowo dan bersyukur. 

Semoga bermanfaat. :)



"Bajaj Isi Empat"



Warm Regards, 

RestiPucii

Thursday 31 May 2012

Kunjungan ke Kemenkeu

Kemarin, tepatnya hari Kamis tanggal 31 Mei 2012 saya mendapat perintah dari ibu atasan saya untuk mewakili Sosialisasi di Kementerian Keuangan. Sosialisasi dilakukan oleh Dirjen Anggaran (DJA), membahas tentang Aplikasi Monev (Monitoring Evaluasi).
Notabene, kementerian/lembaga yang diundang adalah kementerian/lembaga yang belum mengisi dan menyerahkan Laporan Monev. 
Awalnya saya pikir, hanya beberapa gelintir lembaga/kementerian saja yang menghadiri. Ternyata di Gedung Darmaphala Kementerian Keuangan yang berkapasitas kurang lebih 500 orang (mungkin) ini, terisi penuh. Masuk aula, sedikit tercengang melihat ruangan seluas itu, dengan dekorasi serba merah, karpet merah, meja makan prasmanan, kursi-kursi berjajar rapi dan bagus, tembok dengan wallpaper kuning berpadu dengan karpet merah dilengkapi lampu kuning yang redup, menambah keistimewaan gedung ini. 
Agak kagok, saya yang pertama kali menginjakkan kaki di Kementerian yang saya idam-idamkan ini, memasuki Aula, tempat Sosialisasi dilaksanakan. Saya masuk dan ternyata acara sudah dimulai, dan bangku sudah terisi penuh. Tinggal 1 baris di deretan terdepan. Saya dan rekan saya, mau tidak mau duduk paling depan. 
Sempet minder juga sih, ngeliat tamu-tamu yang datang kan minimal eselon III, nah saya? PNS baru masuk kemarin sore, udah berani-berani nya Sosialisasi bareng eselon-eselon. Mereka yang datang, mayoritas membawa minimal laptop, enggak sedikit juga yang membawa I-Pad. Memang, di undangan disarankan untuk membawa laptop dan modem, tapi karena undangan datang mendadak, dan perintah pun mendadak, saya dan rekan saya tidak mempersiapkan apa-apa. Laptop seadanya dibawa, modem pun tak ada. Modal nekat ini ceritanya. 
Tapi karena keingintahuan saya yang bertumpuk-tumpuk, tidak meredupkan sedikitpun semangat yang sedang berapi-api. 
Kementerian Keuangan adalah salah satu nya Kementerian yang disana aku ingin mengabdikan diriku, sebenarnya, disamping BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Tapi apa daya, nyangkutnya di Lembaga ini, pun aku harus tetap optimal dalam mengabdikan diri. 
:)
Sosialisasi berlangsung kurang lebih 2,5 jam. Lancar. Pembicara sangat profesional dibidangnya, operator pun saya rasa, sangat handal dalam memainkan kursornya. Aplikasi yang dijelaskan cukup mudah dipahami, setidaknya bagiku. Walaupun nantinya saya tidak terjun langsung dalam mengerjakan aplikasi itu, tapi keingintahuan saya sedikit terpuaskan. 
:)


Rasanya sangat senang bisa mengikuti kegiatan-kegiatan yang menambah pengetahuan dan pengalaman semacam itu. Senang juga menemui orang-orang baru. Senang juga mengunjungi tempat baru. 
Pengen deh, suatu saat kerja disana. Mengabdikan diriku untuk bangsa ini. 
Menjadi manusia yang memberi perubahan ke arah yang lebih baik. Menjadi manusia yang bisa bermanfaat untuk manusia lainnya. Sedikit harapan pun aku titipkan di tempat itu, sedikit cita-cita aku panjatkan pada Tuhan dengan segala kuasaNya, semoga aku mendapat restuNya.


:)


Warm Regards,
RestiPucii

Tersenyum Pahit

Sungguh kejadian yang membuat saya ingin tersenyum masam. 
Sudah berhari-hari, bahkan mulai bulan lalu saya kebingungan mencari tiket untuk pulang kampung lebaran. Tiket kereta api sudah habis, sejak hari-hari pertama pembukaan pemesanan. Kebijakan dari PT. KAI tentang pemesanan tiket yang sudah bisa dilakukan 90 hari (3bulan) sebelum hari H, sungguh membuat saya sedikit frustasi. Kehabisan tiket, sebelum saya tahu kapan pembukaan pemesanan. Beberapa orang memang sudah mengingatkan, kalau ingin pulang lebaran naik kereta api, sudah bisa dipesan 3 bulan sebelumnya. Nah, dari situ saya pikir, karena saya mau pulang sekitaran bulan Agustus, maka saya baru bisa pesan sekitar bulan Juni, kan? Lha ini kok bulan Mei belum beres, tiket untuk bulan Agustus sudah ludes. 
Tercengang saya mendapat kabar dari teman-teman seperjuangan yang ingin pulang kampung. 
Okelah, mungkin memang saya harus naik pesawat.
Hampir setiap hari saya mengecek harga tiket pesawat, dari pesawat yang paling murah, sampai yang kelas eksekutif. Harganya sudah sangat mencekik, sejak awal saya mulai browsing tiket pesawat, beberapa bulan yang lalu. Sedih. 
Sudah berusaha tanya-tanya teman, ada tiket pesawat yang lebih murah atau tidak, dan memang sama. Kurang lebih, aku harus merogoh kocek sangat dalam, untuk kantong seorang PNS muda, yang hidup sendiri di kota metropolitan, dan masih harus membiayai kuliah sendiri. Yaph! Kurang lebih aku harus mengeluarkan 2 juta rupiah untuk pulang pergi.
Sedih, harus bagaimana aku mendapatkan uang segitu. Berhari-hari dipikir juga, enggak ada tuh dateng uang turun dari langit. 
Dan hari ini?
Atasan ku, seorang Ibu paruh baya, bersorak gembira. Wajahnya berseri-seri. 
"Akhirnya udah dapet tiket lebaran, Res. Murah banget. Kamu mau gabung, beli sama teman saya, Res?"
Sontak saya pun ikut gembira mendengarnya. Mendengar kata "tiket murah", sangat menarik di benak saya. 
"boleh bu, berapa memangnya harganya?", tanyaku ikut bersemangat.
"Saya dapat 6juta, Res. Untuk 3 orang pergi-pulang", jawabnya riang gembira.
Dan saya pun berdiri mematung dan menelan ludah.
Bingung harus berkata apa lagi.
Jadi, harga tiket Pergi-Pulang 2 juta rupiah per orang sudah "murah" katanya.
Padahal, butuh waktu beberapa bulan untukku mengumpulkan uang 2 juta rupiah. 

Hmh.
Begitulah jurang di antara kami berdua. 
PNS kelas atas vs PNS muda yang sedang menata hidup di metropolitan.

Dan sekarang. Saya tetap ingin tertawa, tersenyum pahit, dan menelan ludah.
:)

Warm Regards,
RestiPucii

Wednesday 30 May 2012

Kalau kamu jadi aku?

Kalau kamu jadi aku, menurutmu apa yang akan kamu lakukan?


Saat kamu mendengar dan melihat dengan jelas, salah satu teman mu diperolok orang lain, dan kamu tidak bisa berkata apa-apa karena kamu seorang bawahan yang benar-benar bawahan?


Saat kamu hanya melakukan perintah atasanmu, dan semua orang menyoroti mu sebagai 'tersangka' atas segala kesalahan dan keporak poranda an sistem?


Saat kamu seorang bawahan, dan semua orang membenci atasanmu, sedangkan yang kamu tau, atasanmu adalah yang terbaik di antara semua?


Saat kamu seorang bawahan, dan semua orang menggunjing atasanmu di depanmu, membencimu sebagaimana mereka membenci atasanmu, memperlakukanmu seakan kamu seperti atasanmu yang mereka benci?


Saat ini, aku sedang tidak ingin menjadi diriku.
Sungguh.
Baru saja beban yang lalu terasa sedikit terangkat, dan beban yang lain sudah ditimpakan.
Semua permasalahan bukan tidak ada penyelesaiannya.
Hanya dibutuhkan waktu dan kesabaran.
Hanya itu yang bisa menghiburku saat ini.
Aku tidak ingin, suatu saat nanti aku meledakkan sesuatu yang (mungkin) akan merugikan diriku di kemudian hari.
Yang aku sadari, semakin hari, kecaman, tuntutan, tekanan, semakin bertambah.


Tuhan, beri aku kekuatan dan kesabaran.
Sungguh.
Aku benar-benar membutuhkannya saat ini.




Warm Regards,
RestiPucii

Kartini Day In The Age of...

(ngakak=LOL) (!)... a cute picture of mine. 
After finishing one writing, just want to search for another picture, and I found this! Very excited, when I see this. The picture of mine, when I was,umm, I forget (really), how old myself at that time. As I remember, those picture taken in kindergarten of mine. So, I was in the age of approximately 5th (maybe). 
That was the biggest eyes I've ever seen. I realize, that sometimes it looks weird, but I can't  disaffirm that sometimes peoples said that they like my wide eyes. 


So, those picture taken when I attended one event in my kindergarten. The event's called "Kartini Day" and usually held on 21th April, and always celebrated annually. There was one policy at that school, that is, in every Kartini Day, all student must wear one kind of Indonesian's culture costume. And, on that picture I wear(ed) one kind of Indonesian's culture costume of Sulawesi named 'baju bodo'. Baju Bodo was one of the oldest clothing in the world. But, unfortunately, the photographer did not take the 'full body' picture of mine. So that, I can remember enough how was the skirt called 'sarung'.
The reason why I wear(ed) those kind of costume was, because I was not a kind of calm girl at that time. I was very careless, and my mom very worried, if I wear(ed) a kind of "kebaya" with a very tight skirt called "jarit", I could not walk normally. Hahahaha
My lovely mom is the best of mine. :)


When I see my lips, (hahahaha) I could not hold my laugh. It was very thick, full of lipstick, and I remember that I was not in the good mood at that time. Because, until now, in the age of 23, I still hate coloring my lips with any lip gloss, lipstick, etc.
It was very uncomfortable. Yes! 


Hmm...
Feel like, my life being refreshed. When I see this picture for the first time after a long long time a go. I feel younger. And my memory goes back. Remembering the moment when I was very careless, I totally laugh everytime, also could cry at the same time. :)
Yes, I like when I was a child. 




Warm Regards,
RestiPucii

Bedroom-mate of Mine


Iseng membuka gudang yang isinya foto-foto di laptop, dan aku menemukan ini. Iseng (lagi) aku edit sedikit-sedikit, biar lebih 'nyeni', maksudnya. Hehehehe.


So, there we go! She's my roomate, bedroom-mate specially. 
Dia, teman sekamar ku. Jadi ini kali pertama aku hidup jauh dari orang tua, dan terpaksa tinggal di kos-kos an untuk mempermudah akses menuju kantor. Dengannya lah aku menghabiskan malam-malam ku di Jakarta.


Awal sekali, sering orang-orang di sekitarku, entah itu keluarga maupun orang kantor sampai atasan di kantor pun ikut menasehatiku ini itu, mengingatkanku ini itu, tentang mencari tempat kos, tentang bagaimana cara berteman, tentang bebasnya kehidupan di Jakarta, terlebih saat kita hidup sendiri. Tapi disini, aku akan sedikit menceritakan temanku ini. Bukan bagaimana tempat kos ku, bukan tentang pergaulan bebas di Jakarta, bukan juga bagaimana sampai aku menemukan tempat kos ini.


Well, her name's Sri Rahayu. I call her Mbak Sri, dengan logat Jawa ku yang menempel erat di kata "mbak" nya. Mbak Sri orang Bandung, asli Bandung (kayaknya) (loh?). Tapi setiap ditanya, "orang Sunda"? Dia pasti menjawab, "orang Jawa". How could? Usut punya usut, orang tua nya orang Jawa tulen. Waktu diajak ngomong bahasa Jawa nyambung, tapi ga jarang juga aku dibuat pusing, kalau dia sudah berbicara dengan satu teman kos ku lainnya yang notabene orang Sunda asli (Mbak Winda). Mereka sering sekali berbicara dengan bahasa Sunda, sangat cepat, antusias, dan aku? Pusing. Sama sekali tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Sungguh hebat memang mbak Sri yang satu ini.


Mbak Sri berumur setahun lebih tua daripada ku. Tapi apa yang kami bicarakan selalu nyambung. Apa yang kami rasakan juga sering sama. Perbedaan umur yang hanya setahun, aku pikir sih enggak begitu berpengaruh ya, dalam hal topik pembicaraan sampe selera cowok (hehehe).
Mbak Sri, aku, pun suka sekali dengan musik. Kamar kami, tidak pernah sepi dari musik. Sangat, sangat, sangat bersyukur, aku mempunyai teman sekamar yang sama-sama suka musik. Intinya, tidak akan ada yang merasa terganggu lah ya, kalo setiap saat, setiap waktu, musik dan suara-suara sumbang memenuhi kamar kami. 
:)


Kepribadian mbak Sri lainnya yaitu, heboh dan reaktif. Seneng banget ngeliat ekspresinya, kalo dapet berita baru atau gosip baru. Apapun ditanggapinya dengan bersemangat. Lelucon yang kadang tidak lucu pun, bisa membuatnya tertawa terbahak-bahak. 
Dibalik keceriaan dan kehebohannya, aku pikir, ada satu sisi dia bisa menjadi sangat sensitif. Pernah suatu saat, kami menonton film di kamar. Film ini memang dari awal penayangannya sudah memberi efek sedih sampai penghujung film. Aku hanya bisa bermuka masam, saat melihat ending film itu. Dan mbak Sri? Yap! Doi menangis sejadi-jadinya. Susah menggambarkan suasana saat itu, melihatnya menangis, aku ingin tertawa dalam hati, tapi akhirnya aku tertawa juga melihatnya menangis. Sambil mengusap air matanya, dia pun ikut tertawa. " Iya nih, aku selalu nangis kalo liat film yang sedih-sedih", gitu katanya. Hahaha.


Hampir setiap malam, sebelum tidur, kami selalu mengobrolkan satu topik ringan tertentu. Entah itu hubungan kami dengan pacar masing-masing, atau bercerita tentang pengalaman lucu, tentang keluarga, tentang segala hal deh pokoknya.
Akan menjadi saat-saat yang sangat kurindukan suatu saat nanti, saat-saat kita heboh gara-gara lebah di kamar mandi, saat ber-masker bersama, saat BT gara-gara kucing ibu kos yang suka pup di depan kamar kita, saat kita nyemil kwaci sambil ngobrol, saat menghabiskan keripik maicih sampai perut mulas dan bibir dower pun tidak akan berhenti kalo si keripik belum habis, saat kita sama-sama terbangun tengah malam karena kegerahan, saat kita merombak isi kamar, angkat ini kesana, angkat itu kesitu, dan sangat amat masih banyak lagi hal-hal yang sudah kita lalui bersama. 
:)


Aku merasa sangat beruntung mempunyai teman sekamar, semacam mbak Sri ini. Bahkan saat weekend saat dia harus pulang ke Bandung, aku selalu merasa sedih dan kesepian. Hehehe.
Rasanya kamar ini, Mbak Sri, dan aku sudah menjadi satu kesatuan, setidaknya bagiku. :)
Semoga semakin ke depan, kita semakin akur ya mbak. Semakin bisa mengisi, memahami, dan mendukung satu sama lain (udah kayak orang pacaran aja!). 


Warm Regards,
RestiPucii

Tuesday 29 May 2012

Pesona Pantai Ayah



Pantai Ayah, salah satu pantai kecil di daerah Jawa Tengah, Indonesia. Pantai Ayah, juga sering dikenal dengan sebutan Pantai Logending. Terletak di Gombong Selatan, Kabupaten Kebumen. 
Ini kali pertama saya menginjakkan kaki di tempat wisata ini, Pantai Logending. Tidak ada yang tahu pasti, bagaimana bisa disebut pantai Ayah. Pun, dengan beberapa warga sekitar yang masih sangat kental logat Jawa nya.


Pantai Ayah, menjadi sumber penghasilan bagi beberapa warga dan nelayan setempat. Beberapa warga menyewakan perahu mesin, bermuatan kurang lebih 30 orang. Jasa yang ditawarkan yaitu berputar mengelilingi laut, menggunakan perahu mesin. Eh, jika kita mau, pemilik perahu bisa membawa kita ke pasar ikan. Disana, dijual berbagai macam ikan, dalam kondisi segar, harga murah, dan sekaligus, jika kita ingin dimasakin sekalian ikannya juga bisa. Seperti pengalaman saya beberapa bulan lalu, yang mengunjungi Pantai Ayah sekaligus pasar ikannya. Saya dan teman-teman membeli 2kg udang ukuran besar dan 2kg cumi-cumi ukuran sedang, sekaligus meminta Ibu-ibu disana untuk memasaknya. 
Hasilnya, voilla....
Luar biasa enak! Kebetulan saya meminta udang dimasak dengan bumbu rica-rica.
Rasanya ga kalah sama udang barbeque di restoran mahal di Jakarta. 
Harga udangnya sudah sangat murah, jasa memasakpun hanya dihargai kurang lebih Rp 30.000,-.
Sungguh perpaduan yang sangat istimewa.
Begini penampakan pasar ikannya yang masih sangat tradisional...
Semangat para penjual tak kalah dengan salesman, salesgirl yang ada di mall-mall loh..
Tawar menawar harga sangat dianjurkan di pasar ini. Dijamin ga kecewa, sama harga dan rasa yang ditawarkan. Selayaknya pasar tradisional lah, masih beralaskan tanah, becek, dan bau amis khas ikan laut disana-sini. Tapi, dibalik itu semua, saya terutama, sangat puas dengan kunjungan kali ini ke Pantai ayah.

Suatu hari nanti, kalau diberi kesempatan ke Pantai Ayah sekali lagi, saya ingin menjelajah dua pegunungan yang mengapit pantai ini. 
Semoga saat saya mampir kesana lagi, pantai ini masih asri dengan segala keasliannya..

Such a wonderful land...

Warm Regards,
RestiPucii

Monday 28 May 2012

Sedekah dan Pahala?

Setiap langkah yang kita pijakkan di muka bumi ini, memiliki makna sendiri untuk dipelajari. Setiap nafas yang kita hirup dan hembuskan, punya arti tertentu untuk mejadi suatu pembelajaran. Itu semua bisa kita pahami, jika kita mau.
Hari ni saya ingin membagi sedikit pelajaran yang baru saya dapat. Bukan matematika, bukan juga fisika. Tapi pelajaran tentang memaknai hidup, agar hidup kita lebih bermanfaat bagi makhluk-makhluk di sekitar kita.
Tentang memberi. Kata memberi kadang bermakna sempit di mataku. Memberi artinya mengurangi apa yang kita miliki untuk dimiliki orang lain. 
Tahukah kamu, apa yang kita miliki?
Pada hakikatnya, kita ini tidak memiliki apa-apa. Kita ini bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Apa-apa yang (kelihatannya) kita miliki, sebenarnya bukan milik kita (kalau kita mau memahami). 

Sering kali saya melihat iklan-iklan, tawaran-tawaran untuk bersedekah, untuk beramal, berzakat dan lain-lain. Mereka dengan gamblang nya, menjanjikan bagi kita-kita yang senantiasa beramal dan bersedekah melalui 'jasa' nya, akan diberi pahala oleh Allah SWT. Yang paling membuat saya tidak nyaman dan risih adalah, janji-janji Tuhan yang ditekankan, agar kita mau bersedekah. Kalo kamu bersedekah kamu akan dapat ini berkali-kali lipat, kalo kamu beramal kamu akan masuk ini, kalo kamu beramal akan ini itu, sungguh, saya tidak suka pernyataan-pernyataan macam itu.
Kenapa sih, orang agar mau bersedekah harus di iming-iming dulu? Di iming-iming pahala, kelipatan harta nantinya, dan lain-lain, dan lain-lain. 
Kenapa sih, kalo mau sedekah ya sedekah aja. Kalo mau sedekah aja mikir, apa yang kita bisa peroleh setelah sedekah, apa itu bukan perhitungan namanya? 
Tuhan aja ga pernah perhitungan sama kita. Kalopun mau ngitung nikmat yang Tuhan kasih ke kita, mungkin bakal ngabisin seumur hidup baru keitung totalnya. 
Marilah, kita semua, terutama saya sendiri, mulai melihat kembali niat kita bersedekah. Tidak, sama sekali tidak dilarang, jika kita bersedekah berdasarkan niat ini itu, untuk hajat ini itu, tapi, akankah lebih (nampak) ikhlasnya, saat kita memberi tanpa mengharap apa yang akan kita dapatkan di kemudian hari. Biarlah Tuhan dengan segala KuasaNya yang mengatur. Kita hanya ditugasin berbagi dan menjadi berguna koq, ngapain capek-capek ngitung pahala. 


Warm Regards,
RestiPucii

"Karena lebih membahagiakan, saat kita ikut berbahagia atas kebahagiaan orang lain"

Such a Big Fly, I've Ever Seen

Those picture, I took by my camera phone. Such a big and rare fly. :(


I don't really know, what kind of fly it was. It's the biggest fly, I've ever seen. It has two big and red eyes. Since some days a go, approximately 3 days a go, in my office, especially in my room, there were so many flies like that. It flew around me and all my friend in that room. I didn't know what happened it was. As I know, my room is always clean and have a good fragrant. Because there is no wet garbage inside my room, I also put room refresher there.  
Hmm... Such disturbing, and made me loose focus, any time it flew in front of my computer. 


Do you ever think that those kind of insect's very disgusting? It flies around the garbage, perch in garbage and then attack your food. In people's mind, fly has a very bad image. It's categorized into a kind of insect that bring disease into human's life. 
But, don't you know that those kind of insect has a useful and unique distinction or idiosyncrasy. There was one hadist about fly :
Rasulullah SAW bersabda, " Apabila seekor lalat masuk ke dalam minuman salah seorang kalian, maka celupkanlah ia, kemudian angkat dan buanglah lalatnya sebab pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap lainnya ada obatnya" (HR. Bukhari, Ibn Majah dan Ahmad)
So, that's the truth about fly. There're so many research about wings of fly. So, there're many diseases/poisons in one of their wing, and the medicine/antidote in another wing.
Subhanallah. So don't we judge only the bad things about fly, but we should remember that everything Allah has created, no one/ nothing useless. They have their own benefit beside their weakness. 
Hope this simple article could be useful.


Be thankful always, in order to make our life richer...


Warm Regards,
RestiPucii