Wednesday 25 July 2012

The Day When I Finally Visit Hospital for Myself Part. II

Well, oke, saya akan lanjutkan bagian ini. Bagian dimana menjadi yang pertama selama 23 tahun hidup saya. Jadi saya pertama kali ini penyakitan dan diharuskan untuk opname. Berobat ke rumah sakit aja, ini yang pertama. Selama ini, hanya sakit ringan dan cukup dengan berobat ke bidan dekat rumah. Yang jelas, bukan karena saya pengen gaya-gaya an, sodara-sodara. Karena menginap di rumah sakit pemerintah hanya membuat saya sakit hati dan sakit tulang. 


Jadi, malam itu, awal bulan Juli, bukannya ujug-ujug saya tersungkur di UGD sebuah rumah sakit milik pemerintah. Singkat cerita, saya sakit perut parah, jadi teman sekamar saya langsung melarikan saya ke UGD. 
Dari sejak turun dari taksi, saya sudah tidak kuat jalan, dibawakannya lah oleh seorang Bapak paruh baya, entah siapa itu, membawakan troli, bukan troli juga sih, pokoknya tempat tidur yang ada rodanya itu loh, dibantu Mbak Sri (teman kos.red), Bapak paruh baya itu mengangkat saya (agak kesusahan kayaknya, padahal saya langsing loh, sumpah), sampai akhirnya terbaring di tempat tidur super keras itu dan di doronglah itu troli yang saya tiduri ke UGD.
Sampai UGD, tetap dengan posisi tidur meringkuk, megangin perut, merintih, meringis, dan   ga berhenti istighfar. Sumpah, saya istighfar ga berhenti waktu itu, beneran takut kalo saya mati saat itu juga. Baru itu, saya ngerasa takut mati. Beneran takut. Ga bohong. 
Baiklah, untuk part takut mati, bisa dibahas dilain cerita.
Lanjut ke rumah sakit pemerintah, jadi dengan kondisi yang sedemikian parah (menurut saya), para dokter dan perawat bahkan tidak ada yang heboh. Padahal di bayangan saya, atau paling tidak seperti yang saya pernah lihat di tipi-tipi, kalo uda masuk UGD kesannya heboh, ada yang nangis, trus ada dokter yang pake masker di muka trus di ujung cerita geleng-geleng. Ampun, naudzubillah. Jangan sampe ngalamin begituan. 
Jadi, saya ga sempet merhatiin bener-bener keadaan sekitar lah ya, uda konsen ama perut. Lha koq, ada yang ketawa, ada yang ngobrol, ada yang teriak-teriak ga jelas. Lha terus?
Hello, ini UGD, dan ada pasien baru masuk. Lumayan lama tuh, saya dianggurin ga jelas. Sampe akhirnya aku denger, suara "mungkin dokter" cowok yang menginterogasi Mbak Sri, tentang apa yang saya alami. Mbak Sri pun menjelaskan sekenanya. Si "mungkin dokter" ini tidak kunjung menghampiri saya. Sesaat kemudian, jreeeeng , lha koq yang nyamperin saya malah "mungkin dokter (2)", tapi mbak-mbak. Tanpa senyum, si "mungkin dokter (2)" nanyain apa yang saya rasakan. Sambil merintih, meremas perut, saya menjelaskan sekenanya. Si "mungkin dokter (2)" dengan tanpa ekspresi memegang-megang perut saya. Alih-alih masang stetoskop ke telinganya, terus menekan perlahan perut sebelah kiri saya. 
Kemudian......
Hilang.
Bukan, bukan hantu. Tapi terus ditinggal pergi gitu aja. 
Datanglah mbak Sri. Dengan setia dan sabar menungguiku sambil menatap tidak tega kepadaku. Lama sekali saya dianggurin, berdua dengan mbak Sri. Mbak Sri dengan mata sayup menahan kantuk dan lelah, masih sabar dan mencoba menghiburku sekenanya. 
Beberapa belas menit kemudian, datanglah mas "mungkin dokter"  dan mbak "mungkin dokter(2)". Masing-masing membawa stetoskopnya. Bergantian memegang-megang perut. 
"mungkin dokter" berkata , koq ga ada suaranya ya? koq ga kedengeran apa-apa?
"mungkin dokter (2)" menekankan stetoskopnya ke perut saya (lagi), "eh iyaa, ga ada suaranya". 
Kemudian...
Hilang.
Bukan, bukan hantu lagi.
Dalam hati saya bertanya-tanya. apa yang seharusnya bunyi dari dalam perut saya? Dan kenyataannya apa yang tidak bunyi? Detak jantung ya ndak mungkin, wong yang dipencet-pencet perut. 
Beberapa belas menit kemudian, si mbak "mungkin dokter (2)" dateng, bawa obat.
Inih, tolong dimasukkan lewat dubur, sekarang juga. 
Alamaaaak..!


bersambung...

Wednesday 11 July 2012

The Day when I Finally Visit Hospital for Myself (Part. 1)

Adalah hari Minggu, tepatnya Minggu dini hari pukul 12.30, aku terbangun, karena isi perut berasa diremas-remas. Tidak tahu, apa sebabnya, hanya dugaan-dugaan yang tidak berdasar. Aku coba ke belakang (bukan, bukan belakang pintu), ke kamar mandi maksudku. Cukup lama aku memposisikan diriku layaknya orang yang buang air ala tradisional (jongkok). Tapi enggak ada yang keluar sedikitpun (okelah aku bohong, karena sesungguhnya ada, walaupun sangat sedikit). Perut ini terus melilit, sampai aku bingung memposisikannya di tempat tidur. Tengkurap, terlentang, miring kanan, miring kiri, nggak ada yang bisa aku lakukan, selain merintih dan menahan.
Akhirnya, setelah bergelut sekian menit dengan rasa sakit, aku mengaku kalah. Aku membangunkan teman sekamarku (Mbak Sri).
"Mbak, perut aku sakit banget. Kenapa ya?"
Mbak Sri dengan sigap tapi setengah sadar, "Hooo, kau kenapa Res?"
"Enggak tahu, yang pasti perutku melilit banget", jawabku sambil setengah merintih menahan sakit. 
Mbak Sri pun terlihat panik, otomatis dia langsung membuatkan ku teh panas, dan memaksaku untuk ke rumah sakit nanti kalau matahari sudah terbit. 
Tapi nampaknya sakit perutku tidak ingin berdamai, dia meremas semakin keras. 
"Aku ga bisa nunggu besok kayaknya mbak, aku butuh ke dokter sekarang", kataku tertatih, (kaya sinetron).
Taksi pun dipesan. Sambil bersiap-siap, aku, tetap dengan badan membungkuk menahan sakit, perlahan rasa mual ikut meramaikan suasana nampaknya. Aku pun memakai baju seadanya, yang disiapkan Mbak Sri untukku. Belum sempat memakai penutup kepala, dan Byuuurrrrrrrrr... Aku jatuh tersungkur, dan banyak sekali air yang keluar dari mulutku. Mbak Sri yang baru dari luar untuk mengecek taksi sudah datang atau belum, langsung kaget, melihatku tersungkur dan lantai sudah tergenang air. Semakin panik, Mbak Sri membangunkan Mbak Atun (Ibu muda penjaga laundry di tempat kosan kami). 
Mbak Sri langsung membangunkan ku, memasangkan jaket untukku, menyiapkan sepatu untuk kupakai, sembari mba Atun membersihkan muntahan airku. Eh, ga cuma air sih, kayaknya aku melihat remahan daging buah kelengkeng yang kumakan sebelum tragedi Remasan Perut dan Rasa Mual yang Ikut Meramaikan. Hmmm...
Sambil buru-buru, aku masuk ke dalam taksi, dan peremas perutku tidak mau sabar. Malah semakin dan semakin. Sontak yang ada di bayanganku adalah saat-saat Sakaratul Maut (Saat roh manusia dicabut dari tubuhnya). Saat-saat paling menyakitkan di sisa hidup seluruh umat manusia. Dimana nadi-nadi terputus, dari ujung jempol kaki, sampai ujung kepala. Sekarang bayangkan saja, kalau satu nadi kita teriris sedikit saja, kita sudah merintih, bagaimana kalo perlahan nadi di tubuh kita terputus, nggak sanggup kayaknya aku bayangin.  Yang pasti, jauh dan jauh lebih sakit daripada si peremas perut ini. 
Ah sudahlah, pikiranku semakin kemana-mana saat itu.
Sampailah di RS "xx" milik pemerintah. Sengaja milih RS itu, karena asuransi kesehatan yang aku punya berlaku paling ampuh disana.
Disanalah aku. Di IGD Rumah Sakit milik Pemerintah. Dimana segalanya menjadi gratis saat kau punya asuransi. Tapi bersiaplah dengan dokter-dokter muda yang tidak tahu apa yang harus dilakukan saat melihat seorang tersungkur menahan sakit. 
Untuk masa-masa aktifku di Rumah Sakit itu, akan diceritakan di bab selanjutnya. 
Kalau disini, ih wow. Pusing aku nulisnya, apalagi yang baca (kalo ada).
:p

Warm Regards,
RestiPucii