Monday 29 October 2012

Untuk Siapa, Saya pun Tak Tahu

'Sering sekali mendengar kalimat, "Bahagia itu Sederhana". Tapi, yang saya alami saat ini adalah, "Menjadi GILA juga lebih SEDERHANA". 
Saat menitipkan harapan yang terlalu tinggi pada seseorang, dan pada realitanya, apa yang kita dapat bahkan tidak ada seperempatnya. Gila. Ya, kegilaan macam itulah yang akan kita hadapi. Mungkin bukan "kita". Mungkin hanya "saya". 
"Kamu kenapa?". Banyak sekali pertanyaan seperti ini menghampiri saya. Saat saya memutuskan untuk mencari jasa seorang psikiater yang bisa menangani kegilaan saya.
Saya pun tak kuasa menjawab, apalagi menjelaskan apa yang sedang bercokol di otak kanan, kiri maupun tengah saya. Karena saya sendiri pun, murni tidak mengerti. 
Sedikit membaca artikel tentang, "kapan kita harus mengunjungi psikiater?". Dan isi artikel pun menjelaskan, ada beberapa hal yang mengharuskan kita untuk segera berkunjung ke psikiater. Salah satunya adalah, saat gangguan jiwa yang dialami mulai mengganggu kegiatan fisik, seperti bekerja, belajar, bersosialisasi dan lain sebagainya.
Hmmm, dari satu aspek itu saja, sudah mematahkan kewajiban saya untuk mengunjungi psikiater.
Lalu, kamu kenapa sih Pus?
Baiklah.
Ini hanya hipotesa saya saja. Hipotesa yang mendadak mencuat dari benak saya, setelah beberapa tetes air mata berhasil membasahi separuh sarung bantal. Dan, arrrgh. Menjijikkan.
Hmmm. Jadi begini..
Saya memberanikan diri menyebut diri saya adalah calon pengantin. Awalnya, saya sangat yakin 101% bahwa saya akan menjadi istri yang paling bahagia. Saya akan mempunyai anak-anak kecil yang lucu dan sehat. Saya akan menjadi istri yang sangat disayangi suami dan anak-anak saya nanti. 
Tapi... Entah sejak kapan, entah kenapa dan bagaimana asalnya, saya jadi sangat, sangat sering menangis, meratap, sedih, akan hal-hal yang sepele, yang sebelumnya tidak saya alami bersama pasangan. 
Entah ini karena 'penyamaran' masing-masing dari kami yang sudah mulai terkuak. Entah cobaan pra nikah. Entah kebosanan. Entah rasa lelah menunggu hal yang kami idam-idamkan (menikah) yang tak kunjung datang. Entah perbedaan yang begitu mencekat. Entah perasaan memiliki yang sudah terlalu mendalam. Entah harapan yang terlalu tinggi. Entah keegoisan yang bertahta. Entahlah.
Karena setiap perselisihan yang saya hadapi dengan pasangan adalah hal yang sepele. Kesedihan yang saya alami adalah hal yang, aah, bahkan saya tidak menyangka hal-hal semacam itu bisa membuat saya yang ekstra ceria di mata orang ini jatuh meratap dan sedih.
Dulu, setiap pertemuan, disambut hangat dengan senyum malu-malu. Ditambah belaian lembut di kepala, yang menimbulkan getaran absurd dan tahan lama. 
Sekarang, saya tersenyum girang di setiap pertemuan. Disambut muka datar dan ekspresi sebal karena selalu menunggu. Ekrpresi lelah karena perjalanan jauh. Ekspresi dingin dan tanpa senyuman.
Dulu, selalu ingin berbagi. 
Sekarang, ini punyaku, ini punyamu. 
Dulu, "kamu butuh apa?"
Sekarang, "aku butuh ini". "Liat nanti".
Dulu, "kamu suka ini? Aku beliin ya".
Sekarang, "Iiihhh,lucu". Kemudian ditinggal pergi.
Dulu, seperti tiada wanita sehebat diriku.
Sekarang, "Yang itu cantik, yang itu imut, yang itu cute, yang itu seksi"
Apa ini karena waktu?
Atau saya yang terlena dengan kebahagiaan semu?
Saya lah sumber masalahnya. Saya yang selalu mempersulit hal-hal yang mudah. Saya sangat bisa dengan gamblang mengakui bahwa ini sepenuhnya salah saya. Tapi jauh dalam hati saya, saya belum bisa terima dengan perlakuan seperti ini. Perubahan yang begitu mendasar. Yang (mungkin), tidak dirasakan oleh yang bersangkutan. Dan saya, selalu mencari-cari kesalahan diri saya, setiap ada permasalahan yang menghadang. Seperti dia yang pasti benar, dan saya yang pasti salah. Meskipun secara langsung, dia tidak pernah menyalahkan saya.

Q: Kenapa tidak menegur?
A: Saya sendiri belum bisa menjadi seseorang yang bisa membahagiakannya, bagaimana mungkin saya punya hati untuk menegur apalagi memintanya untuk menjadi apa yang saya mau.

Q: Meskipun dia meminta?
A: Ya. Saya merasa belum pantas.

Q: Harapan apa yang dititipkan sebenarnya padanya?
A: Kebahagiaan. Harapan bahwa saya akan selalu bahagia di sampingnya. Dan saat dirinya ada, saya merasa utuh dan sempurna.

Q: Kenyataannya?
A: Seperti ini. Saat realita tidak sebanding dengan harapan, kegilaan lah yang akan dialami. Murni kekecewaan yang menghantui.

Q: Sebenarnya apa sih yang dirasakan?
A: Saya yang serba kurang. Saya yang tidak pernah menjadi seseorang yang pantas untuk sekedar dibelai kepalanya atau mendapat kalimat "Aku sayang kamu banget". Bahkan saya sudah tidak pernah merasakan tatapan kagum darinya. Seperti dulu, dia selalu mencuri-curi waktu untuk sekedar menatap dan mengungkapkan kekagumannya pada saya.

Q: Kenapa sih selalu underestimate?
A: Entahlah. Saya selalu merasa pribadi saya buruk.

Q: Koq bisa gitu? Bukannya selalu mendapat predikat "baik" dari orang lain, walaupun sering teraniaya batin?
A: Tapi orang yang saya harapkan untuk menerima saya sebagai yang terbaik baginya, tak kunjung memberi pengakuan. Bahkan saya tidak pernah tahu, hal apa dari diri saya yang membuat dia betah dan menjadi nilai positif dari diri saya. Dia tidak pernah mengungkapkan sedikit saja nilai positif yang saya punya. Selalu koreksi dan nasehat yang ditujukan kepada saya. Saya sudah tidak punya jati diri di hadapannya. Habis, hilang, seiring dengan setiap koreksi, kritik, komentar maupun nasehat yang selalu ditujukan pada saya.

Untuk anda yang saya sayangi sungguh, dan keinginan untuk membahagiakan hidup anda selalu saya ungkapkan dan lakukan selalu. Saya berharap, suasana bisa seperti dulu lagi. Saat semuanya berawal dari sebuah rencana Tuhan yang tidak pernah kita sangka. 
Saat semuanya kita syukuri, dan tidak saling meneliti kelemahan maupun kecacatan masing-masing personal.
Karena saya adalah Resti Dian Ramadhani,
Dan anda adalah calon suami terbaik yang pernah saya harapkan.