Wednesday 11 July 2012

The Day when I Finally Visit Hospital for Myself (Part. 1)

Adalah hari Minggu, tepatnya Minggu dini hari pukul 12.30, aku terbangun, karena isi perut berasa diremas-remas. Tidak tahu, apa sebabnya, hanya dugaan-dugaan yang tidak berdasar. Aku coba ke belakang (bukan, bukan belakang pintu), ke kamar mandi maksudku. Cukup lama aku memposisikan diriku layaknya orang yang buang air ala tradisional (jongkok). Tapi enggak ada yang keluar sedikitpun (okelah aku bohong, karena sesungguhnya ada, walaupun sangat sedikit). Perut ini terus melilit, sampai aku bingung memposisikannya di tempat tidur. Tengkurap, terlentang, miring kanan, miring kiri, nggak ada yang bisa aku lakukan, selain merintih dan menahan.
Akhirnya, setelah bergelut sekian menit dengan rasa sakit, aku mengaku kalah. Aku membangunkan teman sekamarku (Mbak Sri).
"Mbak, perut aku sakit banget. Kenapa ya?"
Mbak Sri dengan sigap tapi setengah sadar, "Hooo, kau kenapa Res?"
"Enggak tahu, yang pasti perutku melilit banget", jawabku sambil setengah merintih menahan sakit. 
Mbak Sri pun terlihat panik, otomatis dia langsung membuatkan ku teh panas, dan memaksaku untuk ke rumah sakit nanti kalau matahari sudah terbit. 
Tapi nampaknya sakit perutku tidak ingin berdamai, dia meremas semakin keras. 
"Aku ga bisa nunggu besok kayaknya mbak, aku butuh ke dokter sekarang", kataku tertatih, (kaya sinetron).
Taksi pun dipesan. Sambil bersiap-siap, aku, tetap dengan badan membungkuk menahan sakit, perlahan rasa mual ikut meramaikan suasana nampaknya. Aku pun memakai baju seadanya, yang disiapkan Mbak Sri untukku. Belum sempat memakai penutup kepala, dan Byuuurrrrrrrrr... Aku jatuh tersungkur, dan banyak sekali air yang keluar dari mulutku. Mbak Sri yang baru dari luar untuk mengecek taksi sudah datang atau belum, langsung kaget, melihatku tersungkur dan lantai sudah tergenang air. Semakin panik, Mbak Sri membangunkan Mbak Atun (Ibu muda penjaga laundry di tempat kosan kami). 
Mbak Sri langsung membangunkan ku, memasangkan jaket untukku, menyiapkan sepatu untuk kupakai, sembari mba Atun membersihkan muntahan airku. Eh, ga cuma air sih, kayaknya aku melihat remahan daging buah kelengkeng yang kumakan sebelum tragedi Remasan Perut dan Rasa Mual yang Ikut Meramaikan. Hmmm...
Sambil buru-buru, aku masuk ke dalam taksi, dan peremas perutku tidak mau sabar. Malah semakin dan semakin. Sontak yang ada di bayanganku adalah saat-saat Sakaratul Maut (Saat roh manusia dicabut dari tubuhnya). Saat-saat paling menyakitkan di sisa hidup seluruh umat manusia. Dimana nadi-nadi terputus, dari ujung jempol kaki, sampai ujung kepala. Sekarang bayangkan saja, kalau satu nadi kita teriris sedikit saja, kita sudah merintih, bagaimana kalo perlahan nadi di tubuh kita terputus, nggak sanggup kayaknya aku bayangin.  Yang pasti, jauh dan jauh lebih sakit daripada si peremas perut ini. 
Ah sudahlah, pikiranku semakin kemana-mana saat itu.
Sampailah di RS "xx" milik pemerintah. Sengaja milih RS itu, karena asuransi kesehatan yang aku punya berlaku paling ampuh disana.
Disanalah aku. Di IGD Rumah Sakit milik Pemerintah. Dimana segalanya menjadi gratis saat kau punya asuransi. Tapi bersiaplah dengan dokter-dokter muda yang tidak tahu apa yang harus dilakukan saat melihat seorang tersungkur menahan sakit. 
Untuk masa-masa aktifku di Rumah Sakit itu, akan diceritakan di bab selanjutnya. 
Kalau disini, ih wow. Pusing aku nulisnya, apalagi yang baca (kalo ada).
:p

Warm Regards,
RestiPucii

No comments:

Post a Comment