Pagi yang cerah di hari Selasa. Salah satu weekday yang aku suka diantara lima weekday lainnya, disamping Jumat tentunya. Hari Selasa, artinya hari olahraga. Jadi, setiap hari olahraga, pemimpin instansi tempat ku bekerja, memberi kebijakan berupa kebebasan bagi anggotanya untuk berolahraga sampai pukul 10.00. Itu artinya (aku) sedikit bebas dari jeratan pekerjaan yang (kadang) menyiksa.
Selasa kali ini, aku sengaja tidak menghabiskan jam olahraga untuk benar-benar berolahraga atau sekedar jalan santai ke Monas. Pagi ini, sengaja salah satu teman kantor (Egy) mengajaku dan 2 teman lain (Ardha, Mbak Mia) ke suatu tempat untuk fitting baju miliknya di penjahit.
Awal keberangkatan sudah dibingungkan oleh Egy yang lupa alamat rumah penjahit yang akan didatanginya. Nekatlah kami berempat berangkat. Nekat pula kami berempat berdesak-desakan dalam satu bajaj (BBG). Setelah kurang lebih 25 menit kami beradu pantat, banting kanan, banting kiri, sampailah di rumah penjahit yang dimaksud Egy.
Rumah
mungil, dengan anjing penjaga yang sangat angker (kelihatannya), tapi ternyata
anjing jinak penyayang kucing. Nggak sangka juga sih, kirain cuma di film aja,
ada anjing yang akur bersahabat dengan kucing. Kata si empunya anjing, anjing
inilah yang memungut kucing liar yang notabene sampe sekarang bersahabat dengan
si anjing, dan dipelihara oleh pemilik rumah.
Melihat anjing dan kucing yang rukun, saling sayang, sungguh
membuat hati ini tentram. Dua makhluk berbeda jenis, yang ditakdirkan untuk
saling bermusuhan(pun) bisa menjadi penyelamat, mengapa kita sesama manusia
yang diberi hati nurani lebih dalam dan akal pikiran jauh lebih hebat dari
mereka berdua bahkan bisa saling membunuh? Aku curiga ini semua memang karena
akal. Mungkin, kalau manusia tidak ada yang berakal, dunia bakal lebih tentram.
Mungkin.
Baiklah, kembali ke hari Selasa dan sopir bajaj. Hari Selasa belum
habis, dan sopir bajaj belum terceritakan.
Jadi, kepulangan kami disambut gerimis mesra. Gerimis lembut dan
wajah awan yang sedikit sayu, menambah ketenangan hari Selasa kali ini.
Menyusuri jalan dan mencari bajaj, ditemani hujan dan kesibukan dengan smartphone masing-masing. Akhirnya kami menemukan
tempat ngepul nya para sopir bajaj. Setelah berhasil
tawar-menawar, akhirnya deal, dan kami pun pulang berempat, beradu pantat
(lagi), tapi kali ini lebih parah, karena kami dapat bajaj oranye, bajaj model
lama, yang nungging bagian belakangnya lengkap dengan suara yang luar biasa
merdu.
Sepanjang perjalanan pulang, mendadak ada interview singkat yang dilakukan Egy pada
tersangka sopir bajaj. Dari interview itu, kami jadi sedikit tahu tentang apa
yang para sopir bajaj itu rasakan, setidaknya perasaan sopir bajaj yang satu
ini. Sebut saja namanya Pak Ali. Orang Jawa asli, merantau di Jakarta,
meninggalkan anak dan istri di rumah. aku lupa, asal Pak Ali dari kota mana.
Tinggal di Jakarta di semacam, kami menyebutnya "base-camp".
Asalnya warteg yang disulap menjadi tempat singgah para sopir bajaj. Warteg ini
menyewakan tempatnya untuk tidur para sopir bajaj semacam Pak Ali ini. Dengan
biaya 2000 rupiah per hari, tentunya sudah merupakan surga bagi para sopir
bajaj yang orientasi nya kejar setoran ini. Hanya menyisihkan 2000 perak setiap
hari, sudah punya tempat berteduh dan sekedar meluruskan pinggang dikala rasa
pegal menggelayuti.
Para sopir bajaj ini, juga dibebani kewajiban untuk makan di
pemilik penginapan minimal 2 kali sehari. Jadi, (mungkin) dari sinilah si
empunya penginapan plus warung ini mengambil keuntungan.
Pak Ali, yang awalnya bekerja di sebuah perusahaan swasta
(kebanyakan orang menyebutkan "bekerja di PT"), ternyata mempunyai
liku hidup yang tidak sederhana. Setidaknya, tidak sesederhana kami berempat
yang notabene, lepas dari lingkungan pendidikan, langsung dapat bekerja mapan
di sebuah instansi pemerintah.
Berawal dari pekerja PT, entah Pak Ali yang mengundurkan diri,
atau kena PHK massal pada jamannya, karena aku tidak begitu menyimak part yang ini, pada akhirnya Pak Ali
banting setir jadi pedagang bakso dan mi ayam. Setelah lumayan lama bergelut di
bidang perdagangan, Pak Ali yang semakin terdesak kebutuhan, akhirnya
membanting setirnya lagi, dan jadilah sekarang, Pak Ali si sopir bajaj, yang
berhasil menghidupi istri dan menyekolahkan 2 orang anaknya di kampung.
"Kenapa milih jadi sopir bajaj, Pak?", salah satu
pertanyaan Egy yang paling berbobot diantara semuanya (ampun, Giiiik :p)
Pak Ali pun menjawab dengan skala prioritas.
"Pertama, saya jadi bisa pegang uang setiap hari. Jadi,
sewaktu-waktu keluarga saya minta ditransferin uang, pasti ada. Kalo waktu
bekerja di PT kan, saya punya uangnya cuma seminggu pertama. 3 minggu
berikutnya uda ga pegang duit. Utang sana, utang sini. Susah, Mbak.
Kedua, kerja jadi sopir bajaj ini bebas. Ga terikat. Mau berangkat
narik jam berapa, mau pulang jam berapa, ga ada aturannya, Mbak. Pokoknya
setoran tiap bulannya cukup, enggak bakal ngoyo.
Kalo dipaksain narik, seharian, bisa-bisa besoknya malah enggak ada tenaga buat
narik. Kalo pas lagi rame, sebulan saya bisa megang duit 4 jutaan lo, Mbak.
"
"Waduh, kalah donk gaji PNS saya, Pak", protes Egy.
hahahaha.
Perbincangan demi perbincangan pun mengalir terus, sampai di
tempat tujuan. Dan memaksa kami, untuk mengakhiri interview singkat ini.
Hmmm, sedikit pelajaran yang bisa aku petik dari perbincangan
singkat ini.
Tentang bagaimana kita mengolah rasa syukur. Bahkan seorang sopir
bajaj saja bisa merasakan bahagia koq, walopun masih harus setoran ini itu,
biayain ini itu. Kenapa aku yang sudah mempunyai pekerjaan tetap, gaji yang
enggak berfluktuasi kayak Pak Ali punya, masih membuatku mengeluh kekurangan?
Ini memang gajinya yang kurang atau aku yang enggak bersyukur?
Pak Ali bisa, dengan gaji sopir bajaj nya membiayai istri dan
anak-anaknya tanpa keluhan. Dan aku? Dengan gaji PNS yang (mungkin) sedikit
lebih tinggi, hanya untuk membiayai hidup sendiri di Jakarta plus kuliah saja,
masih sangat sering aku mengeluhkannya. Memilih untuk menyalahkan Tuhan dengan
menuntut lebih dan lebih lagi. Melirik orang-orang lain, dan merasa kurang dan
kurang terus.
Terimakasih Tuhan, untuk sedikit teguran halus dariMu hari ini.
Bersyukur aku bisa menjalani hari Selasa ini dengan sangat tenang.
Berharap, Selasa-Selasa lainnya juga bisa menyesuaikan.
Makasih juga buat Egy, yang secara enggak langsung menggiringku
untuk membuka mata dan hati lebih lebar lagi, untuk lebih legowo dan bersyukur.
Semoga bermanfaat. :)
Warm Regards,
RestiPucii
No comments:
Post a Comment